Ada banyak hal yang membuat aku selalu merasa beruntung dan terberkati. Kadang-kadang aku tidak menyadarinya, sampai sebuah peristiwa sepele terjadi dan ternyata efeknya pada diriku sangat besar.
---
Kemarin sore aku menjemput Arum yang sedang nonton bareng teman-temannya di Twenty One sebuah mall. Saat mampir ke rest room, aku disapa ramah oleh si mbak cleaning service. Karena merasa tidak kenal, aku hanya membalas dengan senyum sekedarnya.
Tanpa kuduga si mbak ini ngajak ngobrol, "Saya masuk kerja tanpa libur sudah dari malam takbiran lho, Bu". Tertegun, aku bertanya, "Emang nggak ada giliran masuk ta, Mbak ? Kasihan anak-anak dong kalau malam lebaran ibunya tidak ada di rumah. Putranya berapa ? Sudah besar-besar ya ?"
Si mbak lalu bercerita --atau lebih tepatnya curhat-- tentang dua putranya yang masih berusia delapan dan dua tahun. Bagaimana ia harus membanting tulang menghidupi mereka dengan melakukan pekerjaan halal apapun yang masih sanggup dilakukannya, karena suaminya berpulang saat putra bungsunya masih dalam kandungan.
"Lalu ?", tanyaku tanpa sadar. Pada saat itu kami sudah berdiri hanya dalam jarak tiga meter, ngobrol dengan asyik seperti dua orang yang sudah lama saling kenal. Si mbak tetap memegang alat pel bergagang panjang, sementara aku bersandar di kaca wastafel sambil melongo mendengarkan ceritanya yang mengharukan.
"Pagi setelah Shalat Ied saya bawa anak-anak ke makam ayahnya. Saya tidak kuat menahan sedih saat sibungsu tanya kenapa ayahnya tidur disini, diatas tanah tanpa kasur. Sekuat tenaga saya tahan air mata karena saya tidak ingin mereka jadi ikut sedih", kata si mbak sambil berlinang air mata.
Sesak dadaku. "Mbak, menangis di depan anak-anak bukan hal tabu. Tidak perlu takut terlihat lemah hanya karena menangis", aku mencoba masuk pelan-pelan.
"Kalau saya; akan saya rengkuh anak-anak, saya peluk dan kami menangis bersama. Saya akan katakan pada mereka bahwa meski seberat apapun kondisi saya tanpa ayah mereka, tapi karena ada anak-anak yang sangat saya sayangi, semua beban itu tidak terasa lagi", aku mencoba menguatkan si mbak yang berwajah manis namun terkesan rapuh dan sedih ini.
Obrolan kami berkembang dan semakin melebar menjadi semacam konsultasi psikologi, meski hanya di depan toilet, sambil berdiri pula.
---
Beberapa menit sesudahnya, saat aku sudah duduk lagi di food court bersama MD dan Dinda, tiba-tiba kabar mengejutkan kami terima, dan membuatku menghela nafas panjang untuk yang kedua kali hari ini.
Pak Beck, seorang komandan senior pasukan intel di sebuah kesatuan, telah berpulang seminggu sebelum lebaran. Terakhir beliau dirawat di sebuah rumah sakit tidak jauh dari rumah kami. MD sangat terkejut sekaligus sedih, karena beliau ini sudah cukup lama bersahabat dengan MD dan terlibat dalam bisnis yang sama. Ironisnya, MD tahunya justru setelah menghubungi hape beliau, dan istrinya yang menerima sambil mengabarkan berita sedih ini. Innalillahi....
---
Apa hikmah dari semua kejadian hari ini ? Aku dan MD tidak banyak berkata-kata lagi. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, dan yang pasti sibuk bersyukur untuk semua yang sudah dianugerahkan pada kami. Alhamdulillah Ya Rabb...
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar