Minggu, 27 November 2011

Satu Suro, Bubur Campur, dan Jazz Traffic Festival

Sejak hari Jum'at kemarin ada beberapa SMS masuk, mengucapkan selamat tahun baru Hijriyah. Karena hari itu ada SMS lain yang lebih menyita perhatian, lebih mendesak di baca, dan lebih menarik disimak, maka SMS 1 Suro jadi agak terabaikan. Sabtu sore setelah semua masalah  reda dan suasana tenang kembali, aku mulai membalas satu persatu ucapan tahun baru yang -jujur..- aku tidak ngeh sebelumnya. Ini mungkin bahasa halus untuk 'tidak peduli'...:)

Dini hari jam 3 tadi, antara sadar dan tidak, MD mengigau, " Ma, sekarang satu suro ya...pantesan badanku panas semua. Aduh, kerisku ilang, Ma..." Aku langsung ngakak. Sudah, bangun...bangun...ini ngelindur apa sengaja mau ngisengin aku sih ? 

Ternyata nuansa 1 Suro sampai juga ke dapur. Pagi-pagi asistenku sudah mengingatkan, " Bu, sekarang kan satu suro, biasanya orang-orang di kampung saya bikin bubur campur. Itu tuh yang pake taburan kacang, abon sama telur dadar. Kita bikin ya, Bu..". Aku bengong. Tumben...biasanya hari minggu semua aktifitas di dapur kan off, karena memang jatahnya para asisten libur. Lha ini minta bikin bubur suro segala.

Sebenarnya menurutku, makna tahun baru itu ya tidak jauh-jauh dari perbaikan diri. Istilah kerennya adalah muhasabah, introspeksi. Apa-apa yang sudah kita perbuat di tahun yang lewat, yang sekiranya bernilai merah, beraroma negatif dan berpotensi merugikan orang lain, sebaiknya segera dihilangkan. Dan segala yang mendatangkan kebaikan, membahagiakan mahluk hidup lain, mendekatkan pada harum surga, sebaiknya segera dilakukan mulai sekarang, mulai detik ini dan mulai dari yang paling kecil.


Lanjut....
Ceritanya, hari itu kami berempat menghabiskan minggu spesial sesuai rencana yang sudah kami susun sejak minggu sebelumnya. Nonton Jazz Traffic, Dinda main di Fun World, aku mencari beberapa barang kebutuhanku, dan MD mengikuti kemanapun kami bergerak sambil membidikkan kameranya. Belum lagi selesai makan, SMS masuk dari rumah. Asisten baru pamit mau pindah kerja, jaga konter pulsa berdua pacarnya. Alamak...rencana pulang malam terpaksa buyar. Aku dan MD bagi tugas. MD mengawal Arum nonton Jazz ( sampai pulang jam 1 malam ), aku menemani Dinda main di Fun World lalu pulang berdua naik taksi. Prioritas pertama adalah mengurus asisten yang memang berulah sejak sebulan lalu.

Malamnya, sambil menunggu MD dan Arum pulang, aku merenung dan melamun. Panjang dan jauh. Betapa selama setahun terakhir cobaan silih berganti datang, dalam berbagai bentuk dan warna. Seumpama orang sedang berjalan, perjalananku diwarnai onak-duri, berliku, berbatu dan berjurang. Kadang aku tersungkur, terjerembab, jatuh, tersandung dan terperosok. Tetapi di balik semua itu, yang paling aku syukuri adalah aku selalu masih diberi kekuatan untuk bangkit lagi. Dan setiap kali berhasil bangkit, aku menjadi lebih kuat dan lebih tabah dari sebelumnya.

Moment tahun baru kali ini, entah mengapa, menjadi bermakna karena aku seperti diingatkan oleh banyak kejadian di sekelilingku bahwa apapun bisa terjadi -bahkan yang paling pahit- seandainya aku lalai  dan tidak pandai mengendalikan diri. Bagaimanapun jalan yang harus kutempuh masih sangat panjang. Aku harus bisa bertahan menghadapi cobaan, dan bertahan terhadap godaan kenikmatan. Yang terakhir ini lebih sulit, mengekang hawa nafsu dan keinginan untuk selalu bersenang-senang itu bukan perkara mudah, kan :)) Tapi intinya, aku berjanji pada diri sendiri bahwa tahun depan harus lebih baik, lebih baik, dan lebih baik. Semoga...

Jumat, 25 November 2011

Pelajaran Dari Masa Lalu

Seorang teman mengirim SMS dengan berita yang menggetarkan hati. Mohon didoakan  agar mendapat kekuatan menghadapi serangan teror SMS dari mantan pujaan hatinya di masa lalu. Sepagi ini, otakku sudah diajak 'jogging', membayangkan apa sebenarnya yang pernah terjadi diantara mereka, menimbang-nimbang perlu tidaknya aku mendoakan dia -karena siapa tahu sebenarnya dia yang paling banyak andil salah-, dan berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar terlalu banyak pada masalah pribadinya.

Sepanjang yang aku tahu, temanku ini orang yang sangat teguh memegang komitmen. Menyayangi dan menghargai pasangan, cinta pada keluarga, dan mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk masa depan anak-anaknya. Kalau sekarang ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ada seseorang dari masa lalu yang berniat 'menggugat' dan ingin merebut kembali memori yang pernah mereka jalin, menurutku itu hanya ujian untuk semua ketegaran dan keikhlasan yang ia jalani.

Masa lalu itu milik semua orang, yang -sayangnya- tidak bisa seenaknya kita hapus atau kita ubah jalan ceritanya. Menyesali masa lalu juga bukan tindakan bijaksana, karena bisa jadi kedewasaan kita hari ini adalah buah dari pengalaman pahit kita di masa lalu. Semua yang pernah terjadi di masa lalu, mungkin hanya bisa kita lipat rapih dalam ingatan, dan menyimpannya di sudut hati. Jangan pernah di buka lagi. Jangan pernah ingin di tengok-tengok lagi. Karena kita tidak pernah tahu seberapa kuat kita berhadapan dengan masa lalu.

Bagaimana dengan SMS yang bertubi-tubi ? Aku hanya bisa bilang; tidak usah dibalas, toh sudah sama-sama tahu bahwa sekarang situasinya berbeda. Sampaikan permintaan maaf untuk semua kesalahan yang mungkin terjadi di antara kalian. Setelah itu, STOP ! Kalau perlu menghilang saja dari kehidupan dia, ganti nomer hape, blokir akun fb, atau apa sajalah...yang penting semua jalur kontak diputus ! Itu kalau memang benar-benar ingin melepas masa lalu, dan fokus meraih masa depan.

Masalahnya temanku ini terlalu baik, mau saja meladeni hal-hal tidak penting meskipun itu sangat merugikan dirinya. Ujung-ujungnya kebingungan sendiri. Tidak sepenuhnya salah memang, karena siapa tahu 'perasaan lain' masih tetap ada meskipun semu. Bagaimanapun, tersambung lagi dengan mantan -mungkin- terasa mendebarkan hati. Tapi sebenarnya ini adalah awal dari bencana *maaf, sok tahu nih..* Sekarang tinggal bagaimana pintar-pintarnya kita menghindar agar bencana itu tidak terjadi. Nah, di titik ini aku memutuskan untuk mendoakan dia; semoga dia diberi kekuatan untuk tetap melangkah ke depan, terus kedepan, dan tidak tergoda untuk menoleh lagi kebelakang.

Rabu, 23 November 2011

Kutipan # 4

With love and patience,
nothing is impossible

( Daisaku Ikeda )




The Twilight Bias Gender...Benarkah ?

Aku dan MD adalah penggemar film remaja The Twilight. Awalnya terjadi secara tidak sengaja. Waktu itu rumah sepi selama beberapa hari karena Arum-Dinda ikut paket wisata anak ke luar kota. Karena bengong gak tahu harus ngapain, akhirnya kami 'berpetualang' dari satu mall ke mall lain untuk mengisi waktu. Kebetulan Eclipse -sekuel ketiga dari The Twilight- main di salah satu bioskop, dan MD berhasil mendapat tiket dengan posisi yang pas menurut aku (karena kalau terlalu kedepan atau kebelakang aku ogah, mending lihat di rumah).

Sebelum film di putar aku sempat melihat ke sekililing tribun, dan ternyata isinya hampir semuanya remaja. Wuih, berasa masih SMA. Jadi ingat dulu aku juga senang nonton, sama MD juga, tapi sekarang lebih enak...kan lebih bebas mau ngapain-ngapain (memangnya mau ngapain? :))

Inti ceritanya adalah seorang gadis yang jadi rebutan dua pria, yang satu vampir dan satunya lagi serigala. Nah disinilah serunya. Penonton laki-laki hampir selalu terdengar mendengus kesal sambil sekali-sekali nggerundel pas tiba adegan si gadis tampak bingung menjatuhkan pilihan. Sampai-sampai sekurity studio yang nebeng nonton mengomel keras, " Dasar perempuan ! sama yang ini mau, sama yang itu mau...Huh !".

Tak urung aku terkikik geli mendapati kenyataan betapa laki-laki mau enaknya sendiri. Kalau ada perempuan yang 'mendapat angin' untuk bisa menggenggam dua laki-laki sekaligus -meskipun cuma dalam film- mereka akan sangat tidak rela dan tidak terima. Coba saja seandainya situasi dibalik; si laki-laki yang dengan leluasa menggenggam dua perempuan sekaligus, apakah mereka akan seribut ini ?

Dari pengalaman nonton sekuel ketiga, aku menjadi tertarik untuk 'mempelajari' film ini lebih jauh. MD dengan senang hati mencarikan semua serinya dari yang pertama The Twilight, New Moon, dan Eclipse. Yang sekarang sedang happening di XXI adalah episode 1 dari sekuel keempat yaitu Breaking Dawn. Aku juga sedang mempertimbangkan untuk membaca novelnya, sekaligus melihat latar belakang penulisnya. Karena seringkali atmosfir pribadi penulis mempengaruhi hasil tulisannya. 

Oh ya...yang pertama bilang bias gender itu MD lho, padahal ini istilah sosiologis banget. Aku sendiri menilai fenomena kecenderungan poliandri adalah salah satu dampak kemajuan jaman. Artinya terjadi perubahan pola berpikir, pergeseran nilai dan norma dalam masyarakat, dan semua itu perlahan tapi pasti ikut merubah individu dalam masyarakat secara signifikan. Ruwet.... memang bukan untuk dipikir kok, hanya jadi wacana saja sekaligus pengingat laki-laki bahwa 'apapun bisa terjadi'. Jadi; waspadalah !...waspadalah !... 
* Jangan percaya, Pa...ini analisis ngawur...:)))

Senin, 21 November 2011

Kutipan # 3

A flower falls eventhough we love it,
and a weed grows eventhough we do not love it.

( Dogen Zenji )


PS: So, kita mau jadi yang mana ? kalau aku mau jadi biji saja. Biarpun kecil, mungkin juga tidak secantik bunga, tapi biji membawa harapan dan menjanjikan kehidupan yang lebih indah untuk mahluk hidup lain.

Jumat, 18 November 2011

Penyakitku Yang Memalukan

Sebenarnya sudah lama aku menyadari bahwa aku punya penyakit akut dan kronis. Meskipun tidak mematikan dan sama sekali tidak menular, tidak urung penyakit ini merepotkan aku, dan mungkin orang-orang disekelilingku juga. Penyakit yang tidak jelas penyebab dan gejalanya ini sudah berusaha aku hilangkan. Tentu saja dengan bantuan dan support terus-menerus dari MD dan anak-anak.

'Penyakit tanpa nama' ini terakhir kambuh waktu aku berdua MD belanja keperluan parcel lebaran. Aku sangat tidak teliti soal angka dan abai pada hal-hal detil. Ceritanya waktu itu kami memilih barang-barang yang didiskon, dan mengisi penuh troli sambil menghitung berapa kira-kira harga yang harus kami bayar di kasir. Nah disinilah penyakitku kambuh; aku sok teliti melihat struk belanja dan membandingkannya dengan harga yang tertera di rak ( hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya ). Lho kok beda ? Sirup, biskuit kaleng, sampai sarung semuanya beda...lebih mahal dari yang tertera di rak dan di brosur.

Karena penasaran aku bertanya pada supervisor yang kebetulan ada di sekitar kasir. Eh, dia tidak bisa jawab. Lalu dia minta bantuan supervisor lain, dan ternyata inipun tidak menyelesaikan masalah. Tambah naik pitamlah aku. Dengan geram aku cabuti semua label harga di rak untuk semua item barang yang kubeli. Terakhir yang turun sang manager on duty. Dengan dia aku sempat beradu argumen cukup sengit. Dia tidak bisa menjawab karena semua barang yang kubeli identik dengan barcode label harga yang kucabut dari rak, dan kutunjukkan padanya sebagai bukti. Ternyata aku sudah membayar dengan harga yang lebih mahal.

Masalah belum selesai...sang manager pamit kebelakang untuk menanyakan hal ini entah pada siapa. Pada saat genting seperti ini barulah MD iseng-iseng menghitung dengan hape. Dan.....dhueng !!! Aku baru sadar kalau semua barang yang kubayar sudah didiskon, dan bahkan murah banget jatuhnya. Perutku langsung mules. Dengan gerakan cepat kulambaikan tangan pada kamera CCTV dan segera kabur dari situ. MD mengikuti dibelakangku sambil tidak henti terbahak..

Kata MD, aku kena sindrom 'out of focus' alias tidak teliti dan cenderung ceroboh. Unfortunately, kalau lagi kambuh aku sering jadi bahan tertawaan anak-anakku. Belum lagi kejadian-kejadian dudul yang lain, yang bahkan mengingatnya aku sendiri pun jadi tertawa. 

Tentang ini kadang-kadang aku prihatin  pada diriku sendiri. Sampai kapan ya penyakit ini kerasan menempel kemanapun aku pergi ?

Kutipan # 2

setiap manusia di dunia 
pasti punya kesalahan
tapi hanya yang pemberani 
yang mau mengakui,
setiap manusia di dunia 
pasti pernah sakit hati
hanya yang berjiwa satria 
yang mau memaafkan....

( song by Sherina )

Senin, 14 November 2011

Chado Pagi Di Rumahku

 Chado adalah upacara minum teh gaya Jepang. Awalnya acara minum teh berkembang di China. Lalu pada akhir abad ke 15 upacara ini diadopsi oleh Bhiksu Zen di Jepang. Karena itu Chado mengandung prinsip dasar Zen yaitu 'wa' artinya keserasian antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam, 'kei' artinya rasa hormat, 'sei' artinya kemurahan atau jiwa yang bersih, dan 'jaku' artinya ketenangan pikiran.

Singkatnya; dengan membuat dan menikmati teh kita bisa menyatu dengan alam dan menikmati ketenangan. Benarkah begitu ? Mari kita lihat yang terjadi di meja makan di rumahku setiap pagi.

Seperti biasa, para asisten rumah tanggaku selalu menyiapkan sepoci besar teh melati yang diseduh dengan sedikit gula.Derajat kemanisannya mungkin hanya 5 atau 6 briks, atau orang Jawa bilang mondo-mondo.
Karena kalau terlalu manis sedikit saja Mas Dony langsung protes. Bikin dia tambah gendut lah, bikin dia kena diabetes lah...pokoknya banyak pesan yang diultimatumkan ke ART agar besoknya tidak mengulang kesalahan fatal lagi. Minuman ini harus sudah terhidang di meja makan paling lambat pukul 04.15 pagi, tidak peduli jam berapapun subuhnya.

Kalau aku perhatikan 3 orang penikmat teh ini ( MD, Arum, Dinda )  punya selera berbeda-beda. Mas Dony selalu menambahkan air jeruk nipis dalam cangkirnya. Ambil jeruk sendiri di kulkas, belah jadi dua, dan langsung diperas ke dalam cangkir. Dinda penggemar berat milk tea. Tapi melihat kesibukan papanya dengan si jeruk nipis, dia jadi ikut-ikutan. Arum, si soliter, adalah penikmat teh melati yang fanatik. Tanpa tambahan apapun, kecuali setangkup roti tawar plus meises coklat kegemarannya.

Chado di pantry belakang ini harus dilakukan seawal dan secepat mungkin, karena kami mengejar waktu sholat subuh. Biasanya aku yang paling lama, karena aku bukan menikmati teh melati, tapi asyik menyeruput white coffe favoritku. Tambahannya adalah sandwich crackers rasa keju yang yummy banget. 

Moment chado ini penting , karena biasanya kami berempat saling menceritakan kejadian kemarin dan rencana kegiatan hari ini, ya waktu minum teh ini. Bukan seperti kebiasaan banyak keluarga lain yang menjadikan waktu dinner sebagai moment berkumpul. Arum dan Dinda sekolah full day. Setiap hari pulang ke rumah jam 17.00 dan satu setengah jam kemudian sudah harus siap menunggu kedatangan guru lesnya masing-masing. Jadi kesempatan berlama-lama ngobrol denganku dan papanya ya pas chado, lanjut ke waktu sarapan sebelum berangkat sekolah.


Kutipan # 1

If you wanna make the world a better place,
take a look at yourself and make a change
( Michael Jackson )

Minggu, 13 November 2011

Aerides Odorata Akhirnya Berbunga Juga...

Anggrekku berbunga lagi..!! Yang ini menjadi istimewa karena sudah kupelihara sejak empat tahun lalu. Aku mendapatkannya dari lereng Gunung Lawu, beberapa rumpun yang semuanya Alhamdulillah hidup subur. Namanya Aerides Odorata, kecil-kecil dan harum semerbak. Aku memang lebih suka anggrek spesies, atau yang sering disebut anggrek hutan. Karena jenis ini relatif sulit dibungakan, bunganya pun biasanya kecil-kecil, warnanya tidak terlalu ngejreng, tapi aromanya...hmmm jangan di tanya. Haruuuum sekali. Mungkin ini mewakili tipikal kepribadianku yach; sederhana, tidak neko-neko, tulus hati,
 tapiii...sangat menawan *glodak !!*

Sabtu, 12 November 2011

Fakta Yang Memiriskan Hati

Pada 1994 lalu, saat aku mulai menulis rancangan skripsi, aku sempat menyelesaikan hampir 2 Bab tulisan tentang perceraian. Rencananya tulisan ini akan aku ajukan pada dosen pembimbing untuk disetujui sebagai materi skripsi yang akan kukerjakan. Waktu itu aku melihat banyak sekali kasus perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Istilahnya 'cerai gugat'. 

Yang membuat aku tergelitik untuk tahu lebih banyak adalah motifasi yang melatarbelakangi pengajuan cerai gugat ini. Setelah aku berburu data ke PA Surabaya, yang kebetulan dekat sekali dengan rumahku, terbukti pengamatanku tidak salah. Hampir setengah dari kasus yang masuk ke pengadilan adalah cerai gugat. Trendnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Maka, ketika di Majalah Intisari terbaru topik ini menjadi bahasan, aku teringat kembali pada 'penemuanku' puluhan tahun lalu itu. Data nasional Pengadilan Agama terbukti menunjukkan fakta bahwa dua pertiga perkara perceraian diajukan oleh pihak istri. Dan hanya sepertiga yang diajukan oleh pihak suami ( istilahnya 'cerai talak' ). 

Penjelasan dari fenomena ini mungkin bisa bermacam-macam. Salah satunya; kini perempuan makin mandiri, makin setara terhadap laki-laki, makin berani membuat keputusan, dan makin sadar akan haknya. Kemandirian perempuan hanya salah satu penjelasan, bukan satu-satunya. Penjelasan lain adalah pergeseran nilai yang dianut perempuan jaman sekarang, yang relatif lebih labil menghadapi tekanan hidup berumah tangga. Berbeda dengan perempuan jaman dulu yang menganggap pernikahan adalah kontrak sekali seumur hidup. Kalaupun mereka berkonflik dengan suami, mereka menganggap itu bagian dari hidup yang harus dijalani tanpa sedikitpun terbersit untuk bercerai.

Ketika aku mengajukan rancangan ini, dosen pembimbing langsung merevisi total :(. Menurut beliau, untuk topik semenarik ini sayang sekali kalau hanya dipakai pendekatan kuantitatif. Artinya hanya bermain diseputar angka, data statistik, dan tabel-tabel. Akan jauh lebih 'hidup' jika skripsiku disajikan dalam bentuk kualitatif penuh. Itu berarti aku harus menulis laporan bak novel, yang menyajikan kutipan-kutipan hasil wawancara mendalam terhadap obyek penelitianku. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya topik itu harus aku lepaskan dengan sukarela, dan segera membuat rancangan baru dengan topik yang sama sekali berbeda. 

Pffuuuffhh....
Lelah juga dari beberapa hari lalu selalu dihadapkan pada berbagai hal beraroma negatif. Tema tulisan ini aku maksudkan sebagai pengingat, bahwa perceraian it's a big no no !buatku. Aku ingin menghayati jati diriku sebagai perempuan Jawa tulen yang berprinsip ; urip pisan, kawin pisan...

Aku Menagih Cintamu...

( bukan aku yang menulis puisi ini, tapi aku sangat menyukainya... )

....
Sebenarnya aku tak ingin bilang
tapi catatan hutangmu terus mengembang
coba dengarkan...
perhatianku ada harganya,
peduliku bolehlah separuh harga,
senyumku bukan gratisan,
pelukku tak cuma-cuma,
rinduku bahkan ada bunganya...

Hatiku sedang bangkrut sekarang
habis untuk mencintaimu
jadi...dengan berat hati aku menagihnya
kalau kau tak sanggup membayar
dengan perhatian, peduli, senyum, peluk, dan rindu
kamu bisa membayarnya lunas
dengan satu hal saja...
cintamu !
....

Aku Belajar Banyak Hal...

Suatu ketika aku pernah ikut Mas Dony menemui seorang petinggi di suatu instansi pemerintah di luar kota. Karena ini adalah pembicaraan penting dan aku sama sekali tidak tahu menahu, aku menunggu di lobby dengan berbekal sebuah novel tebal. Perkiraanku Mas Dony akan berada di dalam ruangan selama 1/2 atau paling lama 1 jam. Ternyata beberapa jam berlalu dan Mas Dony baru menampakkan perut ndutnya. Selama menunggu tadi aku tidak mood baca novel. Bosan. Aku hanya melamun dan membiarkan pikiranku melayang-layang dengan bebasnya. Ada beberapa hal yang masih membekas dan sempat kuendapkan. Inilah hasilnya...

....
Dengan kesadaran penuh, aku belajar bahwa 
aku tidak dapat memaksa orang lain untuk mencintaiku,
aku hanya dapat melakukan sesuatu untuk orang yang kucintai...

Aku belajar bahwa butuh waktu bertahun-tahun
untuk membangun kepercayaan, dan hanya
beberapa detik saja untuk menghancurkannya...

Aku belajar bahwa orang yang tadinya kukira jahat,
justru adalah orang yang melecut semangat hidupku
dan sangat peduli pada masa depanku...

Aku belajar bahwa jika seseorang tidak menunjukkan 
perhatian seperti yang kuinginkan, bukan berarti
dia tidak mencintai aku...

Aku belajar bahwa sebaik-baik pasangan
ia pasti pernah melukai perasaanku,
dan untuk itu aku harus memaafkannya...

Aku belajar bahwa aku harus bisa memaafkan diri sendiri
dan orang lain, kalau aku tidak ingin dikuasai 
perasaan bersalah terus-menerus...

Aku belajar bahwa lingkungan bisa mempengaruhi pribadiku,
tapi aku harus bertanggung jawab untuk
apa yang telah kulakukan...

Aku belajar bahwa tidaklah penting apa yang kumiliki sekarang,
tapi jauh lebih penting adalah
siapa aku ini sebenarnya...

Aku belajar bahwa tidak ada satupun yang 'instant',
semua butuh proses dan pertumbuhan 
kecuali aku ingin sakit hati...

Aku belajar bahwa aku harus memilih
apakah menguasai sikap dan emosi, atau
sikap dan emosi yang menguasai aku...

Aku belajar bahwa aku pun berhak marah,
tapi itu bukan berarti aku harus benci
dan berlaku bengis...

Aku belajar bahwa orang-orang yang kukasihi
sering diambil segera dari kehidupanku,
dengan beragam cara...

Aku belajar bahwa aku harus belajar 
dari kesalahan yang pernah kulakukan 
dan hidup untuk masa depan,
bukan terus-menerus melihat ke masa lampau...

Aku belajar bahwa cinta itu memberi dan mengerti,
tanpa harus diberi dan dimengerti...

Aku belajar bahwa apa yang kuinginkan tidak selalu
sesuai dengan apa yang kubutuhkan,
dan aku harus berlapang dada menerimanya...

Aku belajar bahwa keluargaku 
adalah harta terbesar yang kumiliki...

Aku belajar bahwa dengan berterima kasih padaNya
maka Ia akan memberi lebih banyak lagi...

Aku belajar bahwa aku tidak boleh berhenti belajar,
selamanya, seumur hidupku...
....

Terima kasih untuk semua orang terkasih yang telah menginspirasi tulisan ini.

Jumat, 11 November 2011

Hujan...Hujan...

....
datanglah kekasih biarpun hari hujan
cinta kan mengiringimu 
dengan kehangatan
bawa saja seluruh kerinduanmu
kita satukan di dalam dekapan

langkahkan kakimu sepenuh irama
biarkan jejakmu 
membekas di jalan
buka saja mantelmu basahkan tubuhmu
hujan pun tahu kita bertemu...
....


Barisan frase diatas adalah lirik lagu yang dinyanyikan 'Franky and Jane' dan sempat ngetop banget di era 80an. Aku tidak tahu judulnya, tetapi nuansanya sangat terasa. Waktu lagu ini sering diputar di radio-radio, aku masih SD. Meski begitu kalau mendengar lagu ini aku langsung membayangkan kejadian-kejadian romantis dan indah :))

Saat ini pun, aku masih suka terbayang beberapa kejadian yang berhubungan dengan hujan. Waktu masih SMP dan bapak belum mengijinkan aku naik motor, aku pergi kemana-mana naik sepeda angin. Termasuk pergi les Bahasa Inggris pada seorang profesor bahasa di kampus IKIP Ketintang. Keluarga Pak Wayan ini semuanya berprofesi sebagai pengajar Bahasa Inggris. Aku sendiri dibimbing langsung oleh Bu Wayan, seorang lektor senior di fakultas bahasa, secara private. Kalau musim hujan dan pas harinya aku les rasanya malas sekali berangkat. Bukan karena hujannya, tapi lebih ke tempat lesnya yang semi terbuka di tengah taman bunga di halaman depan rumah Bu Wayan. Kalau lagi deras-derasnya, air bisa menghambur masuk dan membasahi semua buku-buku les kami. O ya, aku selalu bersamaan hari dengan dua teman lain. Kalau sudah begini buyar deh lesnya. Kami cuma ngobrol-ngobrol sambil memandang hujan...he..he..he..( jadi ingat Ratih dan Ramadian :) ) Pulangnya aku masih harus mengayuh sepeda menembus hujan dan menempuh jarak yang lumayan jauh. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan...

Saat aku kelas 1 SMA, kenangan tentang hujan yang paling membekas adalah ketika aku ikut festival teater antar pelajar. Dari rumah salah seorang senior, aku dan rombongan berangkat ke tempat lomba dalam kondisi 'full make up'. Karena jaraknya tidak terlalu jauh kami memutuskan berangkat ramai-ramai berboncengan motor. Tanpa diduga mendadak turun hujan sangat deras, seperti ditumpahkan dari langit. Akibatnya kostum panggung kami basah kuyup, dan muka belepotan karena make up yang tebal luntur tersapu air hujan. Ck..ck..ck.. Kenangan manisnya adalah kami jadi juara 1 untuk kategori cerita rakyat ( kategori ini hanya diikuti satu grup, yaitu grup teater SMAN 6...yo mesti ae menang :)))

Yang paling heboh, ini nih; terjebak badai hujan bersamaan waktunya dengan terjadinya tsunami. Pagi itu aku, Mas Dony, dan dua putri kami sedang dalam perjalanan menuju kolam renang. Rupanya Arum kecil lupa membawa baju renang ( lha tasnya isi apa lo, sayang ? ). Akhirnya kami putar-putar mencari baby shop yang buka paling pagi untuk membeli baju renang. Di tengah jalan mendadak hujan turun dengan sangat deras. Cuaca yang tadinya cerah seketika berubah gelap.
Aku ingat, mobil kami terayun-ayun dihempas angin. Saking derasnya curah hujan, jarak pandang hanya sekitar dua meter saja. Mas Dony mencondongkan badannya menempel setir untuk mempertajam penglihatan. Situasi ini sempat membuat nyaliku ciut. Bagaimana tidak, kami memakai sedan yang di dalamnya ada dua putri kecil kami. Aku tidak berani membayangkan apa yang terjadi seandainya saat itu angin kencang berubah menjadi twister, seperti yang sering aku lihat di film-film. Keesokan harinya di koran muncul berita tentang tsunami di Aceh yang begitu dahsyat. Jam dan tanggal kejadiannya sama persis ketika  aku mengalami badai hujan di Surabaya. Aku merinding, sambil tak henti mengucap syukur dalam hati.

Sekarang, musim hujan adalah saat yang paling kutunggu-tunggu. Udara di luar jadi dingin dan basah. Terlebih lagi, dan ini yang paling penting, koleksi anggrek di halaman dan yang menempel di pohon jadi segar, hijau dan gemuk. Indah sekali.

Note: ada kejadian hujan 'salah musim' yang berkesan. Terjadi pada musim kemarau, malam hari, ketika paginya aku menjalani prosesi akad nikah. Apakah ini pertanda bahwa kehidupan pernikahan kami selalu berlimpah berkah, seperti hujan yang membawa berkah bagi makhluk bumi ? Semoga...
Satu lagi; turun hujan lebat di pagi hari persis saat malamnya bapak berpulang. Berminggu sebelum dan sesudahnya hujan tidak lagi turun. Sungguh aneh...







Sabtu, 05 November 2011

Sampai Maut Memisahkan ( the end )

Melanjutkan renungan kemarin tentang cinta sebatas usia, cinta yang hanya sampai maut memisahkan, aku ingin berandai-andai seumpama kita mempunyai dua cinta pada saat yang bersamaan. Yup...ini tentang para laki-laki perkasa yang mengarungi bahtera rumah tangga dengan dua atau lebih pendamping. Poligami, bagi sebagian orang adalah sesuatu yang mengerikan, termasuk bagi aku sendiri.
Lalu apa hubungannya ? Pikiran ngawurku mengatakan bahwa pelaku poligami tidak ingin terjebak dalam situasi kehilangan pendamping yang berakibat roda kehidupan berjalan tersendat. Karena itu mereka merasa perlu punya 'ban serep' kalau-kalau suatu saat ditinggal berpulang oleh pasangan.
That's good idea ! Kalau mau adil seharusnya perempuan boleh juga dong berjaga-jaga. Daripada suatu saat kelimpungan bertahan hidup karena suami mendadak pergi, lebih baik kan menyiapkan 'baterei cadangan'.
Naudzubillah...:))

Jumat, 04 November 2011

Sampai Maut Memisahkan ( part 2 )

Kisah cinta model 'sampai  maut memisahkan' ini ternyata banyak makan korban. Ketika hidup masih indah karena pasangan masih ada di sisi, semua baik-baik saja. Sampai suatu ketika salah satu pasangan dipanggil menghadapNya. Saat itulah cinta diuji. Kesetiaan berubah wujud ke dalam dimensi yang berbeda-beda, tergantung posisi dan kondisi.

Kalau yang ditinggal adalah suami, terlebih masih dalam usia produktif, maka inilah yang terjadi: ia akan segera mencari pendamping baru. Dengan alasan bahwa laki-laki selalu butuh seorang perempuan untuk mendukungnya  menjalani kerasnya kehidupan. Sebagai kepala rumah tangga, laki-laki harus tetap 'hidup' dan berjuang, membesarkan anak-anak dan meraih impiannya sendiri. Cinta kepada mendiang istri menjadi kenangan yang tersimpan dalam memori, entah di bagian yang mana. Sampai kapan memori itu bertahan, tidak seorangpun tahu bahkan si suami sendiri. Kalau sudah begini, bicara kesetiaan ? rasanya terlalu muluk.

Sekarang kalau yang ditinggal adalah istri, dalam usia produktif, ada dua kemungkinan: ia akan mencari suami baru, atau dengan gagah berani melanjutkan hidup bersama anak-anak, meski dalam kondisi terseok-seok. Kendala finansial lebih sering menjadi alasan utama seorang perempuan menikah lagi sepeninggal suaminya. Dalam banyak kejadian, dan aku menyaksikannya sendiri, banyak perempuan yang tetap gigih dalam kesendiriannya tanpa suami. Tidak terpikir untuk menikah lagi meski usia masih memungkinkan untuk itu. Tidak sedikitpun terlintas mencari sosok laki-laki sebagai pengganti suaminya.

Tanpa bermaksud mengecilkan arti kesetiaan laki-laki, fakta membuktikan lebih banyak perempuan yang berhasil menjaga kesetiaannya dibandingkan laki-laki. Para perempuan hebat ini lebih memilih untuk mengenang mendiang suaminya saat sepi menggigit. Menjadikan kewajiban menghidupi dan membesarkan anak-anak sebagai tugas yang diwariskan almarhum suaminya, tanpa sedikitpun berniat membagi tugas itu dengan laki-laki lain.

Sampai maut memisahkan...sungguh ungkapan cinta yang membuat aku miris. Karena menurutku cinta itu tidak dapat dipisahkan oleh apapun, bahkan oleh maut. Karena cinta adalah anugerah terindah dariNya  yang kehadirannya tidak dapat diminta atau ditolak. Cinta hanya bisa dipisahkan oleh pemiliknya sendiri. Ketika tidak ada cinta lagi di hati, segala bentuk perpisahan menjadi sangat mudah.
Maka, dalam hati kecilku aku berjanji; aku akan mencintai suami seperti aku mencintai diri sendiri. Aku tidak ingin disakiti, maka aku tidak akan menyakitinya. Aku tidak ingin diduakan, maka aku bersumpah tidak akan menduakannya. Aku ingin ditempatkan pada posisi paling istimewa di hatinya, maka diapun mendapat tempat paling indah di hatiku.
Hanya itu. Sesederhana itu. Biar dipisahkan oleh mautpun, selama aku masih menyayangi diri sendiri, aku akan tetap menyayangi suami.

Sampai Maut Memisahkan ( part 1 )

       Beberapa hari lalu Mas Dony cerita; seorang kerabat yang baru 100 hari ditinggal istrinya berpulang, berniat untuk menikah lagi. Si bapak yang sudah tidak muda lagi ini usianya 70 tahun lebih. Semua putra putrinya sudah mentas, sudah berkeluarga dan hidup mapan. Mereka tinggal tersebar di kota lain.
       Bapak S, sebut saja begitu, mengaku betapa beliau merasa sangat kesepian setelah kepergian istrinya. Terutama karena harus tinggal sendiri di rumah keluarga yang lumayan besar. Meskipun disamping rumah tinggal putri bungsu dan keluarganya, tapi si anak sudah sibuk dengan urusannya sendiri.Bapak S ingin punya teman sekedar untuk ngobrol, berbagi cerita, dan mendapat perhatian yang selama ini didapatkan dari almarhum istrinya.
       Mendengar cerita ini tiba-tiba aku merasa sedih. Otakku langsung membayangkan seandainya aku ada di posisi si istri yang berpulang lebih dulu. Tidak terbayang betapa remuk perasaanku ketika tahu bahwa begitu mudah aku dilupakan, dianggap sudah tidak ada -meski memang begitu kenyataannya- dan posisiku digantikan oleh orang lain.
       Aku hanya bertanya-tanya; apakah tidak ada artinya kehidupan berrumah tangga selama puluhan tahun. Berbagi tawa dan air mata selama lebih dari 2/3 usia. Semudah itukah kenangan indah selama ini, terhapus hanya karena salah satu sudah tidak berada di sisi ? Semudah itukah ??
       Hidup memang tidak selalu indah dan sempurna. Ada fase-fase yang mesti dilalui dan dijalani dengan keikhlasan dan kelapangan hati. Saat awal-awal pernikahan adalah masa penyesuaian, penyatuan dua hati dan bahkan mungkin 'pertarungan' untuk menemukan irama paling tepat untuk melangkah bersama. Seiring berjalannya waktu, antara suami dan istri semakin menemukan  banyak hal yang membuat mereka selalu ingin bersama. Yang satu menjadi nafas bagi yang lain, dan inilah mungkin yang dinamakan belahan jiwa.
       Ketika tiba masanya salah satu harus berpulang menghadapNya, alangkah bijaksana jika ini dimaknai sebagai salah satu fase yang juga harus dilalui dengan ikhlas. Bahwa hidup sudah tidak sesempurna dan seindah dulu, bahwa rasa sepi terasa begitu menggigit, adalah bukti betapa dulu kita pernah punya seseorang yang membuat segalanya menjadi indah. Ada seseorang yang membuat malam malam menjadi terasa damai. Ada 'belahan jiwa' yang selalu menyediakan diri dan hatinya untuk kita.
       Dengan dalih apapun, menurutku, sangat tidak bisa diterima menggantikan posisi suami atau istri dengan orang lain. Terlebih di usia sesenja Bapak S yang menurut hematku sudah tidak perlu lagi berjibaku memperjuangkan hidup, karena toh tugas membesarkan anak-anak sudah selesai. Bapak S sudah tinggal menikmati masa tua, menyaksikan cucu-cucu tumbuh besar dan 'menunggu waktu' untuk kembali bertemu dengan istri tercinta.
       Mencari pendamping, meski hanya sebagai teman mengisi hari tua, mengisyaratkan bahwa Bapak S enggan menerima kenyataan bahwa hidup memang sudah tidak sama seperti dulu lagi. Tidak adanya istri di sisi yang membuat hidup terasa hampa dan sepi, seharusnya lebih mengukuhkan rasa cinta pada almarhumah dan terkenang akan pengabdiannya pada suami selama ini. Bukan malah mencari orang lain sebagai ganti agar tetap ada yang melayani, tetap ada yang mengisi kesepian, tetap ada yang mengurus.
Ah, si bapak berwajah teduh...keinginanmu mencari pendamping lagi, membuat rasa simpatiku seketika anjlok. Sayang sekali...:(