Pesan Dari Masa Lalu
Siang yang terik. Seorang diri aku melintas di Jalan Indragiri menuju kios barang antik yang berjejer di sepanjang pagar Gelora Pancasila. Setiap melewati jalan ini aku selalu tergoda melihat berbagai barang antik yang dipajang.
Ada lima atau enam kios yang semuanya mempunyai koleksi begitu menarik. Setelah berkeliling, aku menemukan salah satu kios yang koleksi barangnya tidak terlalu banyak tapi, sungguh, barang-barang yang dipajang membuat aku terkagum-kagum.
Seorang ibu paruh baya yang menjaga kios itu mengatakan bahwa benda antik koleksinya ini dijamin asli. Karena ia memperolehnya dari pemilik langsung, yang kebanyakan adalah keluarga kaya Tionghoa, yang mendiami rumah-rumah loji Belanda di sepanjang Jalan Penghela.
Di sebuah sudut gelap, aku menemukan kotak tua dari logam berbentuk persegi panjang. Dulunya mungkin kotak ini semacam kotak perhiasan. Di dalamnya terdapat cermin oval berbingkai perunggu, dengan detail ukiran yang halus dan indah.
"Kotak ini ditemukan dalam kondisi tertutup selama ratusan tahun," si ibu menjelaskan sambil memperlihatkan bagian dalamnya yang dilapisi beludru merah marun. Aroma debu menguar begitu kotak dibuka.
"Cermin ini dan sebuah sisir perak terselip di dasarnya. Tapi sisirnya disimpan pemilik rumah sebagai kenang-kenangan," katanya lagi.
Aku merasa sedikit aneh, karena begitu melihat kotak ini ada semacam keinginan yang sangat kuat untuk memilikinya. Tanpa menawar, kotak itu kubeli dan langsung kubawa pulang. Tidak ada lagi keinginan untuk melihat-lihat koleksi yang lain, meskipun semuanya begitu menggoda.
---
Malam bulan purnama yang tenang. Aku terbangun ketika alarm weker di samping ranjang berbunyi tepat pukul 02.00 dini hari. Di sebelah weker, kotak antik yang kubeli tadi siang, terdiam membisu.
Jarum jam menunjukkan pukul 02.15 saat kubuka tutup kotak antik itu dengan penuh rasa penasaran. Bahannya yang dari logam membuat kotak itu terasa berat di pangkuanku. Kuusap sisi-sisinya perlahan. Dingin. Tanpa sadar tanganku meraba sudut bagian dalam yang tertutup sekat halus dari satin warna merah dadu. Terasa agak menonjol.
Karena penasaran, dini hari buta itu, aku mulai membongkar seluruh beludru pelapis yang terekat kuat. Tiba-tiba... Apa ini ? Sehelai kertas rapuh berwarna kekuningan berserat kasar, nampak terlipat rapih. Didalam lipatan kertas itu terselip sehelai foto berukuran sedikit lebih kecil dari postcard.
Dengan tangan bergetar hebat aku buka lipatan kertas kuning, yang ternyata adalah sepucuk surat. Semua kata dalam surat itu tidak aku mengerti karena ditulis dalam Bahasa Belanda. Tulisannya halus bersambung, kecil-kecil dan sangat indah.
Lalu pandanganku beralih ke selembar foto yang tidak kalah tuanya. Sisi-sisinya aus dan warnanya pudar di makan usia. Dalam foto itu nampak seorang gadis Belanda berbusana renda putih dengan tangan kiri menggamit tas kulit yang sudah tidak jelas warnanya. Di sebelahnya seorang pemuda China, aku menduga dari Dinasti Manchu kalau menilik jubahnya, tampak gagah dengan jubah sutra berhias sulaman berbentuk burung Phoenix.
Antara takjub dan tidak percaya, kupandangi dengan seksama dua lembar kertas di tanganku. Betapa ingin aku mengerti apa arti tulisan di dalamnya. Naluriku mengatakan ini semacam surat cinta yang ditujukan pada seseorang. Dan foto ini...ah, nampaknya gadis Belanda dan pemuda China ini tersenyum tersipu seperti ada perasaan yang tidak terucapkan.
Tanpa sadar kudekap surat dan foto itu di dadaku. Dan dengan cara yang hampir tidak kumengerti, aku seolah memahami arti semua kata-kata yang tertulis disitu.
---
Peking, 13 Desember 1898
Yang Mulia Pangeran Ch'ing Guang-hsu.
Saya mengucapkan terima kasih atas perkenan Yang Mulia menerima saya
dalam perjamuan yang sejatinya diperuntukkan bagi orang tua saya, selaku perwakilan Kerajaan Belanda.
Dalam waktu tidak lama lagi, kami sekeluarga akan berlayar menuju Hindia Belanda,
di mana orang tua saya mendapat penugasan berikutnya.
Besar harapan saya dapat berkunjung kembali ke Kota Terlarang suatu saat nanti, dan dapat bertemu dengan Yang Mulia dalam kondisi yang lebih baik.
Semoga Dewa Langit selalu melindungi Yang Mulia Pangeran Ch'ing Guang-hsu.
Geosepha Louisa Van Dijk
---
Geosepha Louisa adalah putri tunggal pasangan Pieter Oshwald Van Dijk dan Gertruida Ann Rijkman. Usianya baru empat belas tahun saat ayahnya ditugaskan dalam misi dagang Kerajaan Belanda untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Tiongkok, menjelang berakhirnya masa keemasan Dinasti Manchu.
Dalam perjalanannya, Pieter Oshwald dipindahkan ke Hindia Belanda karena negeri ini dianggap memiliki potensi kekayaan alam yang lebih bagus. Dengan berat hati Geosepha mengikuti orang tuanya, meskipun di Peking ia menemukan banyak hal baru dan belajar berbagai pengetahuan menarik, terutama tentang kebudayaan China Kuno.
Beberapa kali Geosepha mendapat kesempatan istimewa untuk beraudiensi dengan Kaisar Muda meski hanya beberapa menit. Ia telah mahir melakukan kotow, yaitu cara menghormat pada kaisar dengan menjatuhkan lutut ke lantai dan kening menempel pada lantai sampai kaisar berkata "Bangkit".
Kaisar Ch'ing berusia tujuh belas tahun, dan telah sepuluh tahun menduduki tahtanya sebagai satu-satunya putra laki-laki Kaisar Hsien Feng. Kaisar Muda dan Geosepha sama-sama tertarik pada seni sastra. Mereka berguru pada ahli sastra yang sama.
Beberapa bulan setelah kedatangan keluarga Van Dijk di Hindia Belanda, Geosepha terserang malaria yang saat itu sedang mewabah. Ia meninggal dunia di kota Soerabaia dalam usia enam belas tahun, dan dimakamkan di kompleks makam Belanda yang saat ini di kenal dengan nama Makam Peneleh.
Pieter Oshwald Van Dijk dan istrinya kembali ke Belanda pada awal tahun 1903, karena Gertruida tidak tahan menghadapi kesedihan atas kematian putrinya.
Surat yang terselip dalam kotak perhiasan itu sejatinya tidak dimaksudkan untuk dikirim, karena situasinya memang tidak memungkinkan. Surat itu hanya ungkapan kerinduan hati Geosepha untuk Kaisar Muda, yang tidak mungkin ia sampaikan.
---
Pukul 09.00 aku sudah siap di depan gerbang Makam Peneleh yang berarsitektur khas Belanda. Sangat indah dan kokoh, meskipun usianya yang tua tidak lagi bisa disembunyikan. Terdorong rasa penasaran dan bisikan kuat dari dalam hati, aku berjalan perlahan diantara deretan gravestone beraneka bentuk dan ukuran. Tujuanku hanya satu, mencari nisan Geosepha.
( bersambung )