Selasa, 31 Januari 2012

Dialog Antara Nandang dan Seorang Guru Sufi


Seorang guru sufi mendatangi Nandang -muridnya- ketika belakangan ini dilihatnya wajah sang murid sering tampak murung.

....
Guru sufi : Kenapa kau selalu murung, nak ? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini ? Kemana perginya wajah bersyukurmu ?

Nandang : Guru, beberapa waktu terakhir ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tiada habis-habisnya.
[si murid menjawab dengan mata berkaca-kaca. Rasa sesak di dalam dadanya semakin menyiksa]

Guru sufi [menjawab sambil terkekeh-kekeh] : Nak, ambillah segelas air dan dua genggam garam. Bawa kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu...

....
Si murid beranjak pelan tanpa semangat. Dia berpikir, sang guru mau membuat ramuan jamu apaan ? Kenapa bahannya dua genggam garam ? Iih...terbayang gimana rasanya segelas air dicampur dengan dua genggam garam.
....

Guru sufi : Nah, sekarang masukkan segenggam garam ke dalam segelas air itu. Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.
[si murid melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin]

Guru sufi : Bagaimana rasanya ?

Nandang : Asin banget, guru. Perut saya jadi mual. Hueek...

Guru sufi terkekeh-kekeh : Sekarang kau ikut aku. Kita ke danau...

....
Guru sufi membawa muridnya -yang meskipun berwajah murung tapi tetap manis itu- ke sebuah danau 'entahdimana'.
....

Guru sufi : Sekarang, tebarkan segenggam garam yang tersisa tadi.
[si murid menebarkan segenggam garam ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya masih belum hilang, malah semakin terasa mencekat lidah]

Guru sufi : Coba kau minum air danau ini. Bagaimana rasanya ?
[dengan menangkupkan kedua tangan, si murid mengambil air danau, lalu meneguknya perlahan]

Nandang : Segaaar... Terasa segar, guru. Rasa asin di mulut saya juga hilang.
[tanpa sadar si murid tersenyum, setelah tadi meringis merasakan asin garam]

Guru sufi : Terasakah rasa segenggam garam yang kau tebarkan tadi ?
[si murid menggeleng. Sekali lagi ia mengambil air dengan tangannya, lalu meneguk penuh dahaga]

Guru sufi : Nak, segala masalah dalam hidup ini seperti segenggam garam, tidak kurang tidak lebih. Hanya segenggam garam. 
Banyaknya masalah dan penderitaan yang kau alami sepanjang kehidupanmu itu, sudah ditentukan oleh Allah, sesuai untuk dirimu. 
Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini mengalaminya. Tidak ada satu manusia pun yang bebas dari penderitaan, meskipun ia seorang nabi. 

[si murid mendengarkan dengan takzim. Kepalanya tertunduk dalam, hatinya berkecamuk, dan matanya sudah menampakkan tanda-tanda banjir bandang]

Guru sufi : Tapi, nak, rasa asin dari penderitaan yang kita alami, sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya.
Jadi, supaya kau tidak terus-menerus merasa terpuruk dan menderita, berhentilah menjadi gelas. Ubahlah kalbu dalam dadamu itu menjadi seluas danau. 
Ok, nak...senyummu terlalu berharga untuk disimpan sendiri. Orang-orang disekelilingmu pasti akan ikut gembira bila kau tersenyum lagi.

[perlahan si murid mengangkat kepala, mencoba tersenyum, meskipun tanda-tanda banjir di matanya belum berkurang. Sang guru, yang tak lain adalah suaminya sendiri, kembali terkekeh sambil menjitak kepala si murid]

***



Terima kasih untuk Ibuk, Papa, Arum-Dinda, Kevo-Kano-Nadine-Imee-Ireen, para ipar, dan seorang teman yang jauh. Semua cerita, keluh kesah, dukungan, canda-tawa, dan gurauan kita, membuat hidupku berarti.

---
               

Sabtu, 28 Januari 2012

Mengenang Lie, Teman Dari Masa Lalu

Dulu, duluuu sekali, aku pernah mengenal seorang cowok bermata sipit dan berkulit kuning, pada sebuah pertandingan persahabatan antara SMPku melawan SMP swasta tempatnya bersekolah. Waktu itu aku memperkuat tim basket putri, dan Lie -nama cowok itu- menjadi tim inti putra dari sekolahnya.

Secara fisik dia tidak terlalu menonjol dan istimewa dibanding teman-temannya yang lain, yang rata-rata berpostur di atas seratus tujuh puluh senti. Yang membuatnya tampak beda adalah tangannya yang kidal, tetapi sangat tepat tiap kali memasukkan bola ke dalam ring. Bidikan bolanya hampir tidak pernah meleset.

Selama tiga sesi pertandingan yang sangat seru, aku menyimpulkan bahwa Lie diidolakan oleh hampir semua supporter cewek dari timnya. Bahkan beberapa temanku pun ikut bersorak spontan kalau Lie berhasil melakukan shooting dengan indah. Pendek kata, dia menjadi bintang lapangan sore itu.

Nah, pada saat tim putri bertanding -dan aku tidak diturunkan :( - secara tidak sengaja aku berpapasan dengannya di sudut halaman, saat aku membeli minuman dingin dan menikmatinya pelan-pelan, seorang diri.

"Dari SMP dua sembilan ya ?", tanyanya ramah.

Pertanyaan gombal, batinku kesal. Sudah tahu, nanya. "Bukan. SMP songo likur", jawabku asal. Males meladeni, wong tidak kenal ini.

"Ha..ha..ha...", tawanya meledak. Alamak...ketawanya enak sekali didengar. Wajahnya mirip-mirip bintang Korea yang sekarang lagi ngetop itu tuh, siapa ya namanya.

"Kamu Nandang, kan ? Lupa ya, kita pernah ketemu di Tugu Pahlawan, waktu ada acara melukis massal", katanya lagi.  Tawanya masih tersisa, sementara matanya menatapku lekat.

Hah ?? kok dia bisa tahu namaku ? Melukis massal di Tugu Pahlawan ? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian sekitar dua tahun sebelumnya.

Sambil tetap memegang botol minuman dingin dan meminumnya langsung dari botolnya, memoriku berputar-putar sampai akhirnya berhenti pada satu titik. Ah, ya, aku ingat sekarang. Lie adalah cowok yang melukis tepat di belakangku, di bentangan kain puluhan meter yang dihamparkan di sepanjang jalan mengelilingi Tugu Pahlawan.

---

Waktu itu ada perayaan apa, aku lupa, yang jelas tiap sekolah se-Surabaya mengirimkan tiga wakil untuk melukis bersama di atas kain putih tadi.  Aku dan dua teman lain mewakili sekolahku, begitu juga dengan Lie dan dua temannya yang mewakili sebuah SMP swasta favorit di kotaku.

Saat itu aku tengah kebingungan karena tasku yang berisi seperangkat alat lukis terbawa oleh guru pendamping, yang ngeluyur entah kemana. Waktu itu kan belum jamannya hape, jadi ya susah sekali mencari seseorang diantara kerumunan sekian ribu manusia.

Rupanya Lie memperhatikan keresahanku sejak tadi, dan berbaik hati meminjamkan sebagian peralatan lukisnya  padaku, lengkap dengan sepaket cat minyak yang sama sekali belum terpakai.

"Terima kasih ya, sudah dipinjami kuas sama catnya. Kalau tidak, aku melukis pakai tangan dong...bisa memecahkan rekor nih", kataku cengengesan sambil agak gombal-gombal dikit.
Grogi pek, berhadapan dengan cowok cakep.

Dari situ aku tahu namanya, dan ia pun tahu namaku plus sekolahku. Sudah, itu saja. Karena sepulang dari acara itu aku langsung lupa pada kejadian pinjam meminjam alat lukis, dan lupa pada Lie.

---


"Woi !, aku di sini !", teriak Lie sambil tangannya dikibas-kibaskan di depan mataku.

Ya ampun, mukaku memerah. Jadi dari tadi aku melamun ?
"Aku masih ingat, kok. Lie, kan ?, apa kabar ?", kuulurkan tangan yang tiba-tiba jadi gemetar.
Aku merasa canggung dan sangat malu, rasanya seperti adegan di sinetron deh.

Bla..bla..bla...
Tiba-tiba aku menemukan diriku sudah duduk di tepi lapangan, beralas sepatu kets, dengan Lie di sampingku melakukan hal yang sama, dan kami ngobrol seperti layaknya dua sahabat yang tiap hari bertemu.

Sampai disini ingatanku memudar. Nama Lie terlupakan, karena begitu banyak nama-nama lain yang kemudian bermunculan. Teman-teman baru dari berbagai kegiatan yang aku ikuti.

***

Bertahun kemudian, saat aku sudah menjadi mahasiswi, ada seorang teman kuliah yang menatap wajahku lekat sambil berkata, "Ndang, kamu punya tahi lalat di hidung, dagu, dan dahi dalam garis segitiga. Tipe wanita pembawa hoky, kata orang Cina".

What ?? ...Ooh... ini rupanya yang membuat beberapa orang yang kukenal, yang bermata sipit dan berkulit kuning, sering menatapku sampai membuat aku jengah dan malu. Termasuk Lie, nama yang tiba-tiba muncul lagi saat 'tatap menatap' ini disebut.

Ah, Lie...dimanakah kamu sekarang ?

***

Sssttt...sebagian dari kisah ini adalah nyata. Sisanya, setengah nyata setengah ngawur. Di bagian mana ngawurnya ? Biarlah hanya aku, Lie, dan Tuhan saja yang tahu.

---





Selasa, 24 Januari 2012

Kisah Tentang Arum, Gadis Kecilku Yang Sudah Tidak Kecil Lagi

Putri Arimbi Arumdhany, adalah putri sulungku yang lahir di tahun kedua pernikahanku dengan MD, dua puluh hari sebelum wisuda sarjanaku yang tertunda setahun.

Menatap Arum -begitu pamggilannya- saat ini, ingatanku melayang pada betapa beratnya dulu masa kehamilanku, saat ia ada di dalam perutku dan kubawa kemanapun aku pergi. Ketika itu aku sedang mengerjakan skripsi yang sempat mundur dua semester, dengan kondisi kesehatan yang naik turun.

Dengan penuh perjuangan dan dukungan semua orang yang ada di sekelilingku, suami, keluarga, dan teman-teman kuliah, akhirnya aku berhasil maju sidang skripsi dalam kondisi hamil delapan bulan. Terbayang kan, bagaimana performku saat sidang ?

Tiga dosen penguji yang paling kusegani saat kuliah, tanpa ampun mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Beliau-beliau ini seperti tidak terpengaruh dengan kondisiku yang mati-matian bertahan duduk tegak sambil tetap konsentrasi menjawab pertanyaan, sementara keringat dingin terus mengucur karena menahan nyeri di perut.

--Ah, nak, kalau saja kau tahu, betapa segala yang mama lakukan ini adalah untuk kebaikan kita berdua. Karena setiap mama mendapat pertanyaan; beneran kuat nih, mengerjakan skripsi dalam kondisi hamil ?,  selalu mama jawab; insyaallah kuat, kan dikerjakan dua orang.--

Sekarang, Arum sudah akan berusia lima belas tahun pada bulan Maret nanti, dan ini menjadi masa-masa genting dalam kehidupannya. Bagaimanapun, keberhasilan menjalani dan melalui masa remaja akan sangat menentukan kesuksesan kita di masa depan. Ini yang selalu aku tekankan pada Arum.

Mencoba sebanyak mungkin kegiatan, bergaul dengan sebanyak mungkin tipe orang, berteman dengan seluas mungkin kalangan, adalah modal penting untuk menapak masa depan. Karena dunia begitu luas dan indah, dan kita tidak pernah tahu apa yang ada di luar sana.

--Dunia ini adalah medan pertempuran, nak. Antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara yang hitam dan yang putih. Kau harus memilih dan itu berarti bertempur. Jadi, menangkan pertempuranmu ! Buatlah kami semua bangga padamu. Jangan pernah gentar dan kecil hati, karena kau mewarisi darah petarung dari mama, dan jiwa kesatria dari papa.--

***







Jumat, 20 Januari 2012

Jodoh ? atau Tidak Jodoh ?

Suatu siang, dalam perjalanan panjang dan melelahkan menuju Surabaya, aku terlibat pembicaraan seru dengan suamiku, MD. Biasanya kita ngobrol yang ringan-ringan saja untuk mengusir jenuh di perjalanan. Tapi siang itu, entah bagaimana mulanya, tiba-tiba pembicaraan kami sudah sampai pada soal yang serius. Tentang berjodoh atau tidaknya MD dengan para kolega bisnisnya.

Sebagai wirausaha, MD memang bertangan dingin dan good lucky. Berbagai tawaran kerjasama, baik skala regional maupun nasional, tak henti-henti menghampiri sampai membuatnya kewalahan. Sebagian di limpahkan pada rekan sesama konsultan, sebagian bersharing dengan tetap memakai bendera MD tapi yang mengerjakan orang lain, dan sebagian lagi diterjuni sendiri dengan melibatkan timnya.

Ada seorang kolega lama yang seluruh perusahaannya, baik milik ayahnya, kakaknya, dan miliknya sendiri, dihandle MD sejak hulu hingga hilir. Dan ini sudah berlangsung puluhan tahun, sejak MD masih kuliah dan berstatus magang di perusahaan itu.

Karena sudah kenal sejak lama, hubungan MD dan si kolega ini menjadi agak rancu. Merembet ke sisi psikologis, gitu lho. Padahal menurutku, sekecil apapun hubungan di luar urusan kerja, itu sangat mencemarkan profesionalitas kita. Akibatnya nilai integritas kita di mata klien menjadi rendah.

Sekedar me-review, beberapa kali aku melihat MD kecewa pada kelanjutan kerjasama dengan si kolega ini, karena berbagai sebab. Tapi kapanpun dia datang pada MD dengan berbagai permintaan yang rumit, hampir selalu MD bisa memenuhinya, dan ini mengakibatkan  ketergantungan yang tinggi si kolega pada MD.

Karena capek melihat MD selalu terbanting keras setelah melambung begitu tinggi, aku menyarankan untuk menyudahi saja hubungan dengan kolega lama ini. Bukan sama sekali putus, tapi dibatasi hanya pada core bisnis saja, tidak merembet ke urusan lain di luar MoU.

Pada hematku -dan melalui berbagai telaah...uih !- MD dan kolega ini tidak berjodoh. Titik. Jadi, meskipun dia telpon-telpon mengajak kerjasama ini itu, minta sharing ini itu, sebaiknya ditolak saja. Daripada terus menerus makan hati... Kalau memang tidak jodoh ya terima saja dengan lapang dada. Toh masih banyak pihak lain yang menawarkan kerjasama dengan prospek tidak kalah menggiurkan.

Baru beberapa menit kami mengakhiri topik itu dengan kesimpulan MD akan lebih selektif menerima tawaran kolega lama ini, eh...tiba-tiba telpon berdering. Dari siapa ?... Ya si kolega yang baru saja kami rasani itu !...Panjang umur...

Sambil berbicara serius di telpon, tangan MD tidak henti-henti mencubit tengkukku. Itu tandanya dia sedang sangat ingin tertawa keras saking gelinya. "Ya, Pak...Oke, Pak...datanya ada sama saya semua kok...nanti saya e-mail...gak masalah, Pak...bisa kok....Oke, kita ketemu week end aja ya, Pak..".

Dhueeenggg !!!
"Gimana nih, Ma...kamu bilang gak jodoh, lha ini proyek segede gajah, apa dilupakan saja ?", tanya MD geli. Tadi kan aku yang tidak setuju MD gandeng lagi sama kolega ini.
"Terseraaaah....silahkan mengurus proyek di Gatot Subroto, mama ada proyek sendiri di Tanah Abang. ..", kataku pasrah.

Yeelaaa.... Yang namanya rejeki, biar kita cari setengah mati dan kita kejar sampai ke ujung bumi, kalau bukan jatah kita ya tidak terpegang. Sebaliknya, kalau memang itu bagian kita, biar pun kita tidak terlalu berharap, ia akan datang sendiri dari arah yang tidak di duga-duga. Yang penting jangan pernah berhenti berusaha, biarpun jodoh atau tidak jodoh... -he..he..he..jadi malu...-

***

Danke fur Mr. Stf Bst, Mr. Mtt Bst, und Mr. And Bst

Kutipan # 6

It is better to have an enemy
who honestly says they hate you,
than to have a friend
who's putting you down secretly


***

Rabu, 18 Januari 2012

Apa Bedanya Mama dengan Satpam ?


"Kalau satpam menjaga keamanan, kalau mama menjaga hatiku", jawab Dinda. "Gombaaaaallll...", teriak mama. Muless. Gini akibatnya kalau kebanyakan nonton tivi.


Sudah Tidak Ada Pocong Lagi di Rumahku

Beberapa bulan yang lalu saat musim pocong melanda, di rumahku juga terjadi heboh-heboh yang menjangkiti seisi rumah, terutama dua ABG; Arum dan Dinda.

 Waktu itu mereka sedang semangat-semangatnya baca Pocongg Juga Pocongg, dengan ekspresi yang aneh, antara geli menahan tawa dan nyengir kuda -seperti apa coba?...aku juga bingung-.

 Dalam hitungan hari, buku yang tidak bagus-bagus amat tapi cukup menghibur itu, sudah berpindah-pindah tangan. Semuanya penasaran ingin membaca terutama aku, yang penggemar berat cerita horor.

 Dalam bayanganku, aku akan menikmati cerita seram dan mengerikan yang ditulis dalam bahasa gaul, bahasa anak muda jaman sekarang.Tidak seperti gaya bercerita Agatha Christie, penulis favoritku sejak SMP.

 Baru selesai membaca beberapa paragraf, aku langsung sadar kalau aku salah jurusan.
 "Ini sih bukan cerita horor...", kataku.
"Ya emang", kata Arum.

 "Ini sih cerita konyol...", kataku lagi.
"Lha iya", kata Dinda.

 "Tapi lumayan, buat nambah wawasan", aku membuka halaman berikutnya.
"Wawasan tentang pocong ? Mama pingin paham soal pocong, ta ?", tanya Dinda.

 "Bokaaannn...tapi tentang ABG penggemar pocong", kataku menyindir Dinda. Si penakut yang selalu merasa ada pocong mengintip ke dalam kamarnya.

 Beberapa bulan kemudian, waktu buku ini difilmkan dan diputar di bioskop, Arum dan Dinda langsung minta nonton. "Hadoooh... film ginian ditonton. Gak ada yang laen, apa ?", tanya MD.

Akhirnya, siang itu kami berempat pergi ke bioskop sepulang les, tapi di sana kami berpencar. Arum-Dinda masuk studio 4, sedangkan aku dan MD masuk studio 2, nonton film lain.

Beberapa waktu kemudian [kok 'beberapa' lagi sih...] di toko buku bermunculan novel sejenis dengan judul yang tidak jauh-jauh dari pocong. Semuanya mengandung unsur pocong. Ini para penulis apa sih maksudnya, agak bingung juga aku.

Tapi untungnya demam pocong di rumahku sudah berlalu. Buktinya, Arum-Dinda cuek saja waktu aku berinisiatif membeli buku cerita yang berembel-embel pocongg. Mereka tidak ada keinginan untuk membaca,  cuma melirik sepintas. Selanjutnya, mamanya yang melalap habis beberapa buku itu dalam sehari. Ck...ck...ck...



Sabtu, 14 Januari 2012

Yang Membuat Aku Selalu Cinta Pada Surabaya...

Tiga puluh sembilan tahun yang lalu aku dilahirkan di kota ini. Dan sampai sekarang pun aku masih tinggal disini, bahkan mungkin sampai usiaku berakhir.

Bukan tidak ingin hijrah ke kota lain, bukan juga karena tidak bernyali meninggalkan 'tanah leluhur'. Tetapi semuanya lebih pada garis nasib saja, yang membuat aku dan sebagian besar keluarga masih bertahan disini.

Aku ingin sedikit berbagi kesan tentang kotaku tercinta ini. Tentang keindahannya, kerapiannya, kekompakan dan guyup rukun warganya, tentang gemerlapnya, dan yang paling menonjol adalah tentang kebonekannya...hue..he..he..

Selama beberapa tahun terakhir aku banyak melakukan perjalanan ke berbagai kota. Setiap kali, dalam perjalanan itu yang pertama kudatangi adalah tempat-tempat makan yang asyik -MD seorang petualang kuliner-, lalu pasar tradisional -aku gemar berburu barang antik-, dan yang terakhir taman kota alias alun-alun untuk memuaskan kesukaanku nongkrong sambil 'mengamati' kiri kanan.

Dari banyak perjalanan itu, aku selalu tidak bisa tidak untuk membandingkannya dengan kotaku tercinta. Seperti yang kemarin terjadi waktu aku menghabiskan beberapa hari di kota Paris Van Java. Tahu dong, reputasi kota ini sebagai 'kota kembang'. Tapi apa kenyataan yang kulihat disana ?

Untuk memuaskan rasa penasaran, aku sengaja meminta pemandu kami untuk menjalankan mobil pelan-pelan dan melintas di jalan-jalan utama. Harapanku aku akan melihat sebuah kota yang benar-benar 'mandi kembang'...he..he..maksudnya bunga bunga bermekaran di sana sini memanjakan mata.

Dalam cuaca yang sejuk, aku harus menelan kekecewaan karena taman-taman kotanya tidak secantik Surabaya yang luar biasa panas dan gerah. Bahkan di kawasan premium -depan Gedung Sate, maksudku- median jalannya sama sekali tidak tampak indah.

Taman kota gundul, median jalan merana dan tidak terurus, sungai di bawah jembatan layang dipenuhi sampah yang -asli- membuat aku langsung memalingkan muka.

Maaf lho ya...sekali lagi maaf... Tapi memang kondisinya jauh sekali dibandingkan Surabaya. Tidak percaya ? silahkan datang ke kota kami, dan lihatlah bagaimana kota metropolis ini begitu nyaman untuk ditinggali.

Kita sisir dari ujung selatan. Bundaran Waru dengan gedung pencakar langitnya yang megah  -City of Tomorrow- adalah  pintu gerbang Surabaya dari sisi selatan. Dari sini saja mata kita sudah dibuat sejuk oleh berbagai tanaman dan pohon peneduh, sebelum kita bertemu dengan Taman Pelangi yang indah.

Lalu, melintas di sepanjang Raya A. Yani terus melaju di Raya Darmo, median jalannya sangat hijau, segar, rapi, dan bersih ! Padahal kalau kita cermati, tanaman pengisi median jalan itu dari jenis yang murah meriah dan gampang tumbuh. Maklum, cuaca kota Surabaya sering tidak bersahabat, panas, gerah, dan yang pasti polusi.

Bahkan tanah kosong di bawah jembatan layang pun tidak benar-benar kosong. Semuanya penuh oleh rumpun bunga bakung, dracaena, lili paris, dan tanaman perdu yang 'tidak populer'. Pilar-pilar betonnya ditempeli pot dinding dengan tanaman sulur, yang semakin menambah cantik.

Secara keseluruhan, ada berpuluh taman cantik di seantero Surabaya, yang semuanya mempunyai nama dan tema berbeda -hebat, kan?-. Kondisi serupa juga terjadi di perkampungan padat penduduk hampir merata di seluruh wilayah. Semuanya bersih dan hijau. Apalagi di area perumahan elite...wuih jangan ditanya, serasa bukan di Surabaya saking cantiknya.

Pohon peneduh macam angsana pasti jamak di kota lain. Yang membuat berbeda, di Surabaya pohon-pohon itu ditempeli bermacam jenis asplenium -seperti tanduk rusa, dll- dan juga berbagai jenis anggrek dendrobium. Karena cuaca yang panas, di atas tanaman tempel itu hampir pasti tergantung botol aqua yang dilubangi kecil di bagian dasarnya untuk meneteskan air.

Itu hanya sebagian kecil dari hal-hal menarik yang bisa kita temui di Surabaya. Lainnya ?... wow yo uakeh ! Gak percoyo ta, mangkane dulino nang Suroboyo dulur..!!!

***
'Studi Komparatif' berlaku juga di kota-kota lain. Tunggu tanggal mainnya untuk kubeberkan semuanya disini...





Rabu, 11 Januari 2012

Kiss The Rain...



Hujan yang turun sepanjang hari tanpa henti, membawaku pada kenangan masa lalu yang indah. Terima kasih untuk semua yang pernah singgah di hati, yang pernah terusir dari hati, dan yang pernah mengusirku dari hatinya. Bagaimanapun, hidup terus berjalan. Yang tertinggal di belakang biarlah menjadi bagian dari masa lalu.




Mengenangmu Dengan Indah


Tadi pagi, sedang asyiknya aku berkebun, sebuah panggilan telepon memaksaku menghentikan kegiatan. Dari seorang teman yang terakhir kujumpai dua bulan lalu, di sebuah klinik bersalin tempat dia melahirkan putri ketiganya yang imut dan cantik.

Dalam hati aku mengira-ngira cerita macam apa yang ingin disampaikannya. Pukul 08.00. Itu artinya aku punya waktu kurang lebih satu jam untuk mengobrol di telepon, sebelum aku melanjutkan aktifitas berikutnya.

"Halo, mbak. Curhat pagi-pagi boleh ya ? sebelum keduluan yang lain", katanya sambil tertawa. Oh, kabar baik rupanya, batinku. Aku berharap curhat yang disampaikan juga yang indah-indah.

"Boleh. Aku masih ingat kok cerita yang terakhir. Ini ada hubungannya dengan itu, kan ?" jawabku santai. Dengan nafas masih ngos-ngosan dan baju kuyup oleh keringat, kupaksa membuka memori di kepala. Cerita dari ibu muda yang cantik ini sangat mengharukan, sekaligus indah.

***

... Demi Tuhan, aku sudah memantapkan hati menjalani dan menghabiskan sisa hidupku hanya untuk suami dan anak-anak. Semua yang pernah terjadi padaku di masa lalu adalah bagian dari hidupku yang tidak mungkin kuhapus, meski tidak hendak kubuka lagi. Tapi rupanya hati tidak bisa berbohong, dan itu sangat menyiksa...

***

Mbak Elda -begitu aku memanggilnya, karena nama aslinya yang berbau feodal panjang sekali-, adalah seorang istri dengan tiga putra putri, sekaligus pemilik sebuah lembaga bimbingan belajar yang sedang berkembang pesat. Kami menjadi akrab setelah sering terlibat bersama dalam kegiatan di komite sekolah.

Dalam banyak kesempatan, Mbak Elda kerap tiba-tiba muncul di depan gerbang rumahku tanpa mau masuk ke dalam. Wajahnya basah oleh air mata, dan nafasnya tersengal-sengal menahan tangis.

"Mbak, aku mau muntah !", katanya tanpa basa basi.
"Silahkan. Tapi sebaiknya di dalam saja, yuk. Malu, dilihat orang lewat", kataku membujuk. Muntah itu maksudnya mau mengeluarkan uneg-uneg, istilah dari Mbak Elda yang akhirnya dipakai oleh semua temanku kalau menelepon.

Nah, pagi ini dia menelpon dengan tertawa-tawa, berarti ceritanya tidak 'mengandung ribet' seperti yang sudah-sudah. "Jadi gini lho, Mbak Nandang...", katanya perlahan. Dari nada suaranya aku merasa dia bicara sambil tersenyum.

Singkat cerita, Mbak Elda merasa gundah karena beberapa malam berturut-turut memimpikan mantan tunangannya yang tinggal di kota berjauhan. Tidak sedikitpun dia ingin menyambung komunikasi, karena buat Mbak Elda segalanya sudah selesai dan semuanya adalah masa lalu. Tapi beberapa kali memimpikan seseorang yang pernah sangat dekat, tak urung membuat hatinya menjadi hangat. Terbayang kembali kenangan indah dan manis yang pernah dilalui bersama -mungkin ini yang membuat nada suaranya menjadi riang :)-

"Tapi masih ada cinta, kan mbak ?", aku bertanya sedikit mendesak.
"Sepertinya begitu...aku tidak yakin. Hanya saja aku merasa dia sedang mengalami sesuatu", jawabnya pelan. "Menurut Mbak Nandang, aku harus gimana ?

O o...cinta lagi, cinta lagi.
"Ditelpon aja. Say hello, tanya kabar, basa basi dikit...nanti kan nyambung sendiri ke pokok masalah", kataku. Agak bimbang juga, saranku ini benar apa salah ya ?.

"No ! I don't want !...eventhough I miss him so much", jawabnya keras.

Lho, gimana sih ?
Kalau aku -kalau...cuma kalau...bukan sungguhan !- perasaan cinta itu tidak perlu ditutupi, tidak perlu dikubur atau dipadamkan. Jauh lebih bijaksana jika kita bisa mengendalikan dan berdamai dengan hati kita.

Mencintai itu bukan dosa. Hanya saja kita perlu tahu rambu-rambunya dan bertekad untuk mematuhi rambu-rambu itu. Kayak film Titanic itu lho...

Bahwa ada seseorang dari masa lalu yang sampai kini tetap menghuni sebuah sudut di hati kita, itu tidak apa-apa. Nikmati saja, dan syukuri. Tidak perlu diingkari atau disangkal, karena perasaan cinta yang sudah lewat akan menjadikan hati kita kaya, hidup, dan hangat. Indah bukan ?

***

Mbak Elda menyudahi teleponnya hari itu dengan tenang, tetap tersenyum, dan aku yakin dia sudah menyiapkan sebuah rencana untuk menghadapi ini semua. Suami dan anak-anak adalah proritas utama, dan jalan terbaik menuju surga -katanya...- Tapi kenangan masa lalu yang indah, membuat kita bahagia dan semakin kaya, tanpa menodai kesucian cinta kita hari ini dan yang akan datang.

***

( Terima kasih sudah diijinkan membagi cerita ini, ya Mbak...)






Rabu, 04 Januari 2012

Somewhere Over The Rainbow



Rasanya tidak bosan-bosan mendengarkan lagu ini, biarpun diputar berulangkali atau dinyanyikan dalam berbagai versi. Terlebih pada sore, gelap mendung dan basah seperti ini, mendengarkan lagu yang terputar sayup-sayup membuat hatiku hangat. Merasa rindu, entah pada siapa. Merasa bahagia, entah karena apa. Merasa damai, tidak jelas sebabnya. Pokoknya serba indah deh...:)))

***

Aku Lagi ? Kenapa Aku ?....Puas...Puas...

Begitu mungkin kalau kesabaran sudah nyaris mencapai ubun-ubun. Teriakan seperti itu mungkin yang akan keluar dari mulutku, kalau saja aku tidak cukup kuat menahan diri.

Apa pasal ? aku sedang jengkel sekali pada diri sendiri, karena naskah yang sudah kuselesaikan dua halaman penuh seperti lenyap tak berbekas. Ini gara-gara aku numpang ngetik di laptop Arum, dan karena gaptek -atau apalah sebabnya- tulisanku mendadak hilang begitu terpencet satu tombol. Cling !! dan akupun melongo.

"Ya sudah, nulis lagi aja Ma", kata Arum enteng
" Ini kan spontan, tidak pakai konsep. Gimana bisa nulis lagi wong idenya langsung buyar", aku menahan jengkel.

Selalu seperti ini. Beberapa hari kemarin aku termangu melamun. Kok hidupku sepertinya berjalan terlalu lempeng ya. Segala sesuatunya terasa begitu mudah. Bukan tanpa cobaan, tapi semua cobaan itu seolah datang sekaligus dengan jalan keluarnya. Jadi terasa mudah banget menghadapinya.

Lalu benakku mulai bertanya-tanya. Tuhan masih sayang aku enggak sih ? kok aku hanya diberi nikmat tanpa diuji, di beri bonus melulu. Mana bonusnya tambah lama tambah besar lagi, Alhamdulillah.

Hati kecilku berdoa tanpa sadar, "Ya Rabb, berilah hamba ujian dan cobaan. Yang berat juga boleh, asal Engkau selalu dekat disisi hamba untuk bersandar. Karena dengan ujian dan cobaan itu, hamba ingin naik kelas jauh lebih tinggi dari yang sekarang".

Nah, rupanya doaku ini terkabul. Sedikit demi sedikit masalah mulai muncul -alangkah indahnya...:)) Dimulai dari yang sepele, ya raibnya draft tulisanku itu tadi. Terus berangsur-angsur berbagai masalah mulai teridentifikasi, mengaduk-aduk emosi, membuat kepala nyut-nyutan, tidak enak makan, dan yang pasti insomnia.

Doa terus kupanjatkan, "Ya Rabb, jangan tinggalkan aku ya. Semua ujianMu, cobaan dariMu, selalu membuat aku semakin dekat denganMu".

***

Tuhan benar-benar mengabulkan permintaanku, karena sekarang ujian datang tidak sekaligus dengan jalan keluarnya. Tapi naluriku jelas mengatakan, aku hanya butuh sebongkah hati yang tegar dan kesabaran tiada batas, untuk bisa bertahan dan keluar dari ujian dengan selamat.

***

Selasa, 03 Januari 2012

Aku Selalu Cinta Tapi Kamu Tidak...

Menjalani hari-hari indah di awal tahun, aku belum dapat mengira-ngira apa yang bakal terjadi di depan. Kesulitan, cobaan, dan batu sandungan macam apa yang bakal kuhadapi. Dan sebagai imbalannya, kesenangan, kesuksesan, dan keberkahan sebesar apa yang menantiku.

Hari ketiga di tahun 2012. Aku mulai merasa mulas-mulas yang hebat saat MD menceritakan carut marut di salah satu bidang yang dia tangani. Antara gelisah karena terbayang berbagai kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, dengan resah karena pada kenyataannya tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mengatasi semua kesemerawutan itu.

Sebenarnya kondisi seperti ini sudah jadi makananku berkali-kali, karena bagaimanapun suamiku adalah wirausaha mandiri yang sepenuhnya mengandalkan kepiawaiannya di bidang keuangan. Di luar bidang itu, hanya sebagai 'diversifikasi usaha' saja.

Yang tidak kalah menyita pikiranku adalah anak-anak. Dinda yang juni nanti berusia sembilan tahun, mulai nampak sifat aslinya. Aku paling kewalahan kalau menghadapi sikapnya saat keinginannya tidak terpenuhi. Seperti yang baru saja terjadi; ia masuk kamarnya sambil menggeser pintu dengan keras, sampai aku terlonjak demi mendengar suara kaca yang menggelegar. Jleeggg !!!...kalau pintu kaca itu remuk gimana ?

Kalau sudah begini, biasanya aku bertahan untuk tidak merayu dan membujuk-bujuk agar ia menghentikan ngambeknya. Biar saja ia tahu bagaimana rasanya kalau aku memintanya melakukan sesuatu tapi ia tidak menghiraukan. 

Aku berkeyakinan, anak-anak juga harus dikenalkan pada rasa kecewa bila apa yang dimaui tidak bisa ia dapatkan.  Lebih dari itu, mereka juga harus belajar bertenggang rasa; kalau ingin permintaannya didengar dan dipenuhi maka ia juga harus mendengar dan memenuhi.

Dalam kasusku dengan Dinda -kasus ?, lagi ?-, selalu aku yang harus mengalah...kok jadi seperti syair lagu ya.. Bukan tidak rela, karena bagaimanapun Dinda adalah buah hatiku, tapi aku khawatir sifat keras kepala dan mau menang sendiri-nya akan menyulitkan dia kelak saat dewasa.

Kejadian Dinda ngambek padaku sudah berkali-kali, dan selalu berakhir dengan aku meluluskan permintaannya hanya karena tidak tahan didiamkan Dinda terlalu lama. Tapi akhirnya kusadari bahwa sikapku keliru. 

Terlalu memanjakan anak akan berakibat buruk, begitu yang sering kubaca. Maka kuputuskan untuk menguatkan hati menghadapi Dinda dengan segala rengekan dan rajukannya yang sebenarnya hampir menggoyahkan hatiku. Semua kulakukan untuk kebaikannya, mumpung aku dan suami masih ada di sisinya untuk mendampingi, mengingatkan, dan meluruskan kalau ia salah jalan.

Sudah hampir satu jam...Dinda belum juga keluar dari kamar. Nah, ini jurus terakhirku yang biasanya paling ampuh; berdiri di depan pintu kamarnya sambil bernyanyi, "Aku selalu cinta, tapi kamu tidak...."

***