Seorang guru sufi mendatangi Nandang -muridnya- ketika belakangan ini dilihatnya wajah sang murid sering tampak murung.
....
Guru sufi : Kenapa kau selalu murung, nak ? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini ? Kemana perginya wajah bersyukurmu ?
Nandang : Guru, beberapa waktu terakhir ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tiada habis-habisnya.
[si murid menjawab dengan mata berkaca-kaca. Rasa sesak di dalam dadanya semakin menyiksa]
Guru sufi [menjawab sambil terkekeh-kekeh] : Nak, ambillah segelas air dan dua genggam garam. Bawa kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu...
....
Si murid beranjak pelan tanpa semangat. Dia berpikir, sang guru mau membuat ramuan jamu apaan ? Kenapa bahannya dua genggam garam ? Iih...terbayang gimana rasanya segelas air dicampur dengan dua genggam garam.
....
Guru sufi : Nah, sekarang masukkan segenggam garam ke dalam segelas air itu. Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.
[si murid melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin]
Guru sufi : Bagaimana rasanya ?
Nandang : Asin banget, guru. Perut saya jadi mual. Hueek...
Guru sufi terkekeh-kekeh : Sekarang kau ikut aku. Kita ke danau...
....
Guru sufi membawa muridnya -yang meskipun berwajah murung tapi tetap manis itu- ke sebuah danau 'entahdimana'.
....
Guru sufi : Sekarang, tebarkan segenggam garam yang tersisa tadi.
[si murid menebarkan segenggam garam ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya masih belum hilang, malah semakin terasa mencekat lidah]
Guru sufi : Coba kau minum air danau ini. Bagaimana rasanya ?
[dengan menangkupkan kedua tangan, si murid mengambil air danau, lalu meneguknya perlahan]
Nandang : Segaaar... Terasa segar, guru. Rasa asin di mulut saya juga hilang.
[tanpa sadar si murid tersenyum, setelah tadi meringis merasakan asin garam]
Guru sufi : Terasakah rasa segenggam garam yang kau tebarkan tadi ?
[si murid menggeleng. Sekali lagi ia mengambil air dengan tangannya, lalu meneguk penuh dahaga]
Guru sufi : Nak, segala masalah dalam hidup ini seperti segenggam garam, tidak kurang tidak lebih. Hanya segenggam garam.
Banyaknya masalah dan penderitaan yang kau alami sepanjang kehidupanmu itu, sudah ditentukan oleh Allah, sesuai untuk dirimu.
Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini mengalaminya. Tidak ada satu manusia pun yang bebas dari penderitaan, meskipun ia seorang nabi.
[si murid mendengarkan dengan takzim. Kepalanya tertunduk dalam, hatinya berkecamuk, dan matanya sudah menampakkan tanda-tanda banjir bandang]
Guru sufi : Tapi, nak, rasa asin dari penderitaan yang kita alami, sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya.
Jadi, supaya kau tidak terus-menerus merasa terpuruk dan menderita, berhentilah menjadi gelas. Ubahlah kalbu dalam dadamu itu menjadi seluas danau.
Ok, nak...senyummu terlalu berharga untuk disimpan sendiri. Orang-orang disekelilingmu pasti akan ikut gembira bila kau tersenyum lagi.
[perlahan si murid mengangkat kepala, mencoba tersenyum, meskipun tanda-tanda banjir di matanya belum berkurang. Sang guru, yang tak lain adalah suaminya sendiri, kembali terkekeh sambil menjitak kepala si murid]
***
Terima kasih untuk Ibuk, Papa, Arum-Dinda, Kevo-Kano-Nadine-Imee-Ireen, para ipar, dan seorang teman yang jauh. Semua cerita, keluh kesah, dukungan, canda-tawa, dan gurauan kita, membuat hidupku berarti.
---